Young Lex & Lisa Blackpink: Bacol dan Eskpresi Seksual di Medsos
Nama Young Lex kembali viral di media sosial setelah mengunggah sebuah video ulasan album Blackpink, girl band dari Korea Selatan, dan melontarkan kata-kata yang dianggap tidak layak oleh sebagian warganet.
Ketika mendapati album foto para personel Blackpink, Young Lex nyeletuk: “Oh shit, foto-foto buat bacol… bahan coli… (dengan sejumlah sensor suara di video)...waduh, cantiknya. Geng, perutnya ramping bener.”
Tak sampai seminggu sejak mengunggah video tersebut, rapper berusia 26 tahun ini diserang oleh warganet. Mereka menilai Young Lex telah melakukan pelecehan seksual terhadap personel Blackpink—terutama Lisa yang berulang kali disebutkan Young Lex sebagai personel favoritnya.
Sebuah petisi di Change.org bahkan menuntut perusahaan e-dagang Shopee agar membatalkan undangan kepada Young Lex untuk menghadiri meet and greet dengan Lisa. Sampai Rabu (25/7/2018), petisi ini sudah ditandatangani sekitar 31.000 warganet.
Menyikapi kritik dari warganet, Young Lex menulis di laman Instastory-nya bahwa reaksi mereka berlebihan, seraya mengunggah ulang komentar para pengguna Instagram yang menginterpretasikan ucapannya sebagai seloroh belaka.
Yang terlontar dari mulut Young Lex sebetulnya bukan hal luar biasa. Jauh sebelum media sosial mendominasi percakapan sehari-hari publik, ekspresi seksual serupa sudah jamak terdengar dalam obrolan sehari-hari, khususnya di antara laki-laki. Namun, ada faktor-faktor tertentu yang membuat Young Lex diperkarakan, sementara yang lain lebih disikapi secara permisif meski kadang membuat sekitarnya risih.
Ekspresi Seksual dan Objektifikasi
Di satu sisi, saya memandang ucapan Young Lex sebagai ekspresi seksual. Menurut praktisi pendidikan seksual Cory Silverberg, istilah ekspresi seksual tak hanya digunakan untuk mendeskripsikan aktivitas seksual yang kita lakukan, juga cara kita mengomunikasikan dan bertingkah laku sebagai makhluk seksual. Ekspresi seksual meliputi pikiran, perasaan, hasrat, ketakutan, harapan, dan impian kita terkait seksualitas. Dan Young Lex sedang mengomunikasikan pikiran atau hasrat seksualnya terhadap personel Blackpink.
Kenapa seseorang perlu mengekspresikan seksualitasnya?
Seorang kawan, psikolog klinis dewasa yang kerap membuat diskusi langsung soal seksualitas, mengatakan kepada saya: “Dalam literatur psikologi, seks itu suatu energi yang bisa menggerakkan seseorang. Ketika terus direpresi, ia akan meledak, bisa dalam bentuk apa saja.”
Analoginya mungkin begini: Anda mengalami suatu hal yang dianggap luar biasa untuk pertama kali, Anda mau menceritakan hal ini ke orang-orang sekitar. Masalahnya, Anda adalah manusia terakhir di muka bumi ini. Sisanya Alien. Atau, Anda mau meminta sesuatu kepada kenalan Anda, tetapi Anda malah dipasung dan dibungkam. Lama-lama Anda gila. Seperti yang dikatakan Paulo Coelho dalam Veronika Memutuskan Mati, “Kegilaan adalah ketidakmampuan mengomunikasikan apa yang ada dalam pikiran.”
Seperti halnya Young Lex, telah lama orang-orang lain mengekspresikan seksualitasnya lewat berbagai medium: gambar, tarian, sastra, dan lain sebagainya. Ada gambar aktivitas seksual pada cawan, bejana, dan dinding pada era Yunani kuno; ada kitab tersohor Kamasutra dari India; ada puja-puji antar-mempelai berkonten erotis di kitab Kidung Agung orang Kristiani; ada tari perut yang berakar dari dataran Afrika dan dibawa ke Asia Barat.
Di era modern, tidak sulit untuk menemukan lirik-lirik lagu bermuatan godaan dan ajakan beraktivitas seksual, baik dari luar negeri maupun Indonesia, baik dari perempuan maupun laki-laki. Video penyanyi perempuan menggesek-gesekkan bokong ke penonton laki-laki bukan hal pelik buat dicari, gambar laki-laki dengan mata memangsa model perempuan di iklan-iklan tak kalah banyak dengan gambar perempuan yang terkesima melihat perut laki-laki yang bak batu bersusun enam.
Lantas, mengapa perbuatan Young Lex dinilai begitu salah?
Dari contoh-contoh di atas, ekspresi seksual dipandang sebagai seni, yang tak jarang dipahami sebagai sesuatu yang adiluhung, bahkan sakral. Namun, ketika cara penyampaian dan mediumnya berubah, ragam ekspresi seksual tadi bisa dilihat bak dua sisi mata uang dengan objektifikasi, baik objektifikasi orang lain maupun objektifikasi badan sendiri.
Sebagai catatan: sebagian besar produksi kebudayaan dari zaman ke zaman dilakukan oleh laki-laki dan menjadi wilayah laki-laki. Dibandingkan zaman sekarang, dulu perempuan sedikit sekali punya tempat dalam domain ini. Ketika mendapat tempat pun, belum tentu perempuan benar-benar lepas dari cara pandang (baca: seksualisasi) ala laki-laki, termasuk terhadap dirinya sendiri.
Ekspresi seksual yang dipilih Young Lex dalam video itu adalah verbal, sementara yang dipilih para laki-laki pembaca majalah porno mungkin adalah bermasturbasi di kamar mandi tanpa perlu memberi tahu tetangga atau keluarga. Ya, keduanya sama-sama mengobjektifikasi orang lain saat mengekspresikan seksualitasnya. Persoalannya, kapan dan di mana mereka melakukannya?
Entah Young Lex sedang menguji ilmu di dunia digital atau memang alpa, mungkin dia melihat media sebagai ruang ekspresi pribadi. Siapa pun memang bisa punya kamar dalam rumah bernama internet, mengisinya dengan apa saja yang disukanya, tapi kamar-kamar tersebut senantiasa berdinding kaca. Seandainya Young Lex mengatakan foto personel Blackpink adalah bahan masturbasi kepada peer group-nya, mungkin reaksi mereka sepakat dengan Young Lex dan menafsirkan kata-katanya sebagai lelucon seks pelengkap obrolan.
Objektifikasi yang dilakukan Young Lex semakin heboh di media karena dia adalah tokoh publik, sehingga konsekuensi yang diemban juga berbeda. Tindak-tanduknya senantiasa diawasi dan dianggap berpengaruh luas. Bandingkan dari pengguna-pengguna Instagram yang mengomentari foto Anya Geraldine berbikini (“Bacol gaees” atau “Jadi ngaceng”). Atau komentar terhadap Nabilah JKT48 yang berbaju tertutup (“Gede juga”, “Minta susumu”, dan “Di semak yuk”).
Reaksi yang mungkin mereka terima paling-paling: 1) dirisak oleh pengguna Instagram lain, 2) komentarnya dilaporkan atau dihapus, 3) diafirmasi oleh laki-laki pengguna Instagram yang lain. Sulit membayangkan mereka bakal dipetisi.
Faktor lain yang juga mungkin membuat Young Lex dipermasalahkan adalah diksi yang dipakainya. Buat sebagian orang, frasa “bahan coli” terdengar begitu vulgar dan tidak layak ditunjukkan di ruang publik, plus audiens dapat berasumsi bahwa Young Lex benar-benar melakukan masturbasi dengan melihat foto para personel Blackpink.
Bayangkan frasa tersebut dengan “alat stimulasi” atau “penggugah hasrat”. Sama-sama dapat bermakna seksual, tapi terdengar kurang frontal dan tentunya tak “menjual”. Atau, bila yang disebut-sebutnya hanya “cantik”, “seksi”, “mulus”, warganet mungkin tidak akan semarah itu kepadanya karena kata-kata tersebut lumrah didengar, walaupun ujung-ujungnya ya menilai tubuh juga.
Orang-orang lebih cepat bereaksi ketika berhubungan dengan seksualitas, apalagi di Indonesia. Ambil diksi lain. Biasanya orang lebih risih ketika mendengar kata-kata “entot” dan “kontol” dibanding “sanggama” atau “fuck” dan “penis” atau “kemaluan laki-laki”. Berlandaskan ajaran berbahasa dan bertata krama yang diterima dari generasi ke generasi, kita memilah perilaku seseorang yang layak dan tidak, kendati kata apa pun yang dipilihnya sebenarnya bermakna sama.
Standar Ganda
Lagi-lagi, objektifikasi yang diungkapkan secara publik tak hanya monopoli laki-laki dan kini bahkan diterima sebagai kewajaran oleh tak sedikit perempuan.
Ekspresi mirip Young Lex saya temukan dalam banyak komentar perempuan pengguna media sosial dengan bahasa berbeda. Bukalah Twitter dan ketik “rahimku menghangat” di kolom pencarian, Anda akan menemukan kata-kata semisal, “Lihat [masukkan nama artis laki-laki], rahimku menghangat”, “… Rahimku menghangat denger suara […], apakah aku hamil online?”
Carilah foto-foto pesohor laki-laki yang sedang bertelanjang dada di Instagram. Saya sempat menyusuri komentar-komentar terhadap foto Iqbaal Ramadhan yang terlihat telanjang dada di kolam bersama dua kawannya, serta foto Andrew White dan Iko Uwais memamerkan perut six pack-nya. Berikut komentar-komentar yang saya temukan dari sejumlah akun perempuan:
Pada foto Iqbal:
“Harusnya tuh badan jangan tenggelem di kolam. Harusnya agak berdiri dikit.”
“Dada sandarable @iqbaal.e.”
“Jadi ikutan basah nih.”
Pada foto Andrew White dan Iko Uwais:
“Yawlaaa serasa ingin kupanjat. Rahim anget ga liat ginian?”
“Gelinggingan gak sis liat beginian?”
“Becek bang becek. Peres bang peres.”
“Mas Iko, kenapa menyimpan anak kucing dalam celana, kasian kucingnya gak nafas, keluarin Mas” (celana Iko tampak basah saat berdiri di tepi laut)
“Tiba-tiba pengen dihamilin dong sama dese.”
“Seger kan gusti, ayam bakar (ayah muda badan kekar).”
“Pengen elus perutnya bang.”
Ucapan-ucapan macam ini sekilas seperti lelucon belaka. Orang pun lebih permisif ketimbang saat menanggapi ucapan Young Lex.
Apakah karena “rahimku menghangat” lebih sopan dalam menggambarkan keterangsangan? Apakah karena kata “coli” melibatkan keaktifan laki-laki memenuhi hasrat seksualnya, sementara perempuan cukup melihat gambar saja sudah “basah”? Apa sebutan “ayam bakar” kurang seksual daripada “mahmud abas” (mamah muda anak baru satu) atau MILF ('mother/mom/mama I'd like to fuck')?
Buat saya, ekspresi seksual macam ini senada dengan yang ditunjukkan Young Lex, cuma beda kemasan. Para pesohor laki-laki tadi pun dipandang sebagai seonggok tubuh pemuas dahaga seks.
Dari komparasi kasus-kasus ini, saya melihat perkara ekspresi seksual dan objektifikasi mana yang dimaafkan dan mana yang tidak, sangat relatif dan kontekstual. Inul bergoyang ngebor dikecam, Duo Serigala bergoyang dan “Basahin Adek Bang” masih aman-aman saja. Perempuan seraya cekikikan bisa mengomentari habis badan setengah telanjang laki-laki dan minim kecaman, sementara laki-laki yang melakukan hal serupa, dirisak ramai-ramai.
Di antara para pemrotes Young Lex, boleh jadi ada yang menge-post “rahimku menghangat” saat melihat wajah artis laki-laki Korea. Singkatnya, standar ganda.
Begitu jamaknya ekspresi seksual dan objektifikasi, saya berpendapat bahwa siapa pun yang pernah memublikasikan fotonya atau pernah dilihat seseorang sebenarnya bisa menjadi objek. Siapa pun bisa mengekspresikan seksualitasnya dan mengundang komentar. Siapa pun yang mengakses media bisa atau pernah berlaku seperti Young Lex, entah di taraf tindakan atau pikiran.
Tak perlu harus berbaju mini atau telanjang; yang berjilbab pun bisa jadi bahan fetish. Harus cantik atau ganteng sekali? Yang dibilang cupu saja bisa membuat orang tertentu merasa horny—karena cantik/ganteng tidak pernah mutlak, toh?
Seorang sastrawan yang menulis larik-larik erotis dan melibatkan karakter tertentu, bisa saja sedang melakukan objektifikasi dengan membayangkan bersetubuh dengan perempuan tersintal di SMA-nya dulu atau aktris favoritnya. Seorang supir angkot bisa berimajinasi mencium penumpangnya saat mengecup sang istri.
Mustahil rasanya menyuruh orang berhenti berfantasi karena hal ini adalah bagian dari kebutuhan manusia sebagai makhluk seksual. Namun, yang perlu dipahami dalam mencari pemenuhan kebutuhan ini adalah di ruang seperti apa kita berada. Media sosial (dan ruang-ruang publik lain) adalah arena pertarungan kuasa. Apa yang terjadi di sana bisa mengundang ribuan tafsir warganet.
Dunia digital memang surga bagi siapa pun untuk bersuara, tetapi pilihan tindakan yang keliru hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain—termasuk ketika ekspresi seksual jatuh ke dalam objektifikasi, entah oleh laki-laki maupun perempuan.
Baca juga artikel terkait SEKSUALITAS atau tulisan menarik lainnya Patresia Kirnandita