Nyamannya OTT di Indonesia, Untung Besar Modal ‘Numpang’ ke Operator
Uzone.id - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) hingga kini belum menerbitkan aturan atau regulasi yang jelas terkait layanan over the top alias OTT. Padahal, regulasi ini bukan sekadar meneruskan keberlangsungan operator telekomunikasi saja, tapi menyangkut kepentingan nasional juga.
Hal ini disampaikan Kamilov Sagala, Pengamat Telekomunikasi, dalam diskusi media bertajuk ‘Urgensi Regulasi OTT Demi Mengembalikan Kesehatan Industri Selular’, di Jakarta, Rabu (27/12).Saat ini, masyarakat Indonesia sangat bergantung terhadap layanan OTT, khususnya dari asing. Siapa sih di sini yang gak suka nonton YouTube, menyaksikan konten vertikal di TikTok atau Instagram, atau nonton film terkini di Netflix?
Nahasnya, ketika masyarakat begitu ketagihan terhadap layanan OTT yang ada, di saat yang sama mereka juga mengeluh soal lambatnya akses internet di Indonesia.
Kamilov menyampaikan, selama ini infrastruktur jaringan di Indonesia ditopang oleh para operator telekomunikasi. Operator harus menanggung beban yang sangat besar, serta dituntut untuk menyediakan infrastruktur jaringan yang mumpuni dan terkini, seperti 5G.
Akan tetapi, yang menikmatinya justru layanan OTT yang ‘menumpang’ secara cuma-cuma tanpa adanya aturan yang jelas.
“Betapa sedihnya operator yang sudah membangun infrastruktur, tapi yang menikmati OTT,” tegasnya.
“OTT itu penumpang, tapi berasa seperti pemilik (jaringan). Padahal, keuntungan yang diraup OTT ini luar biasa besar,” sambung sosok yang merupakan mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu.
Sigit Puspito Wigati Jarot selaku Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional MASTEL juga menyampaikan hal yang senada. Menurutnya, regulasi OTT bukan sekadar meneruskan sustainabilitas operator saja, tapi sudah menyangkut kepentingan nasional.
“Ada kepentingan nasional yang besar sekali yang apabila didiamkan, dampaknya akan sangat besar,” katanya, saat ditemui tim Uzone.id setelah acara.
Ia melanjutkan, “Sebagai contoh, saat operator tidak bisa survive lagi karena bebannya sangat banyak, gak bisa investasi lagi, otomatis infrastruktur gak bisa digelar lagi. Yang dirugikan bukan operator saja, tapi kita sebagai masyarakat Indonesia, negara juga dirugikan.”
“Operator tinggal bilang saja ‘ya kami gak mampu, gak ada uangnya sekarang’,” jelas Sigit.
Di kesempatan yang sama, Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute mengatakan, regulasi OTT begitu dinantikan kehadirannya di industri telekomunikasi. Sebab, sampai sekarang layanan tersebut tidak dibebankan PNBP, tidak seperti penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi.
Menurutnya, sebagai negara berdaulat, Indonesia harus berani meminta bagian dari OTT yang sudah mengambil untung besar selama ini. Itung-itung, sebagai bagian dari kontribusi silang untuk membantu industri telekomunikasi yang sudah mulai turun.
“Industri telekomunikasi itu udah mulai turun, harus ada kontribusi silang dengan menambah dari sisi lain seperti OTT,” pungkas Heru.