Menjelajahi Hutan Perawan Gunung Ranai Natuna
Kabut masih belum beranjak pergi meski cahaya matahari sudah mulai membaluri Kota Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Jumat (5/5) pagi. Jarum jam baru menunjukkan pukul 07.30 WIB, saat Irwan Septiawan, warga setempat yang akan menemani perjalanan saya menjelajahi Gunung Ranai, menjemput menggunakan sepeda motor trail Kawasaki D Tracker 150 cc.
"Kok naik motor Bang, bukan naik mobil?" tanya saya.
"Tak bisa Bang. Kita naik motor untuk menghemat waktu dan memangkas jarak perjalanan," jawab pria berusia 27 tahun itu.
Dari hotel, motor yang saya tumpangi bersama Irwan melewati wilayah Ranai Darat. Sepeda motor lalu membelah jalan beraspal perkampungan di mana rumah-rumah penduduk dengan model panggung berdiri. Jarak satu rumah ke rumah lainnya cukup jauh sekitar 30 meter, dan semakin jauh saat mendekati kaki Gunung Ranai.
Tidak ada gerbang bertuliskan "Selamat Datang" layaknya jalur pendakian gunung-gunung di Pulau Jawa. Setelah melaju sekitar dua kilometer perjalanan, jalan beraspal pun berganti menjadi jalan berlapis tanah yang berayamkan bebatuan. Di kanan dan kiri jalan rumah-rumah penduduk bertukar menjadi tumpukan batu berjenis granit. Ukurannya beragam. Mulai dari sebesar city car hingga bus antarkota antarprovinsi. Sayangnya, batu-batu tersebut ada yang sudah pecah karena digempur warga sekitar.
Kegagahan Gunung Ranai dari kejauhan bersalin menjadi rerimbunan batang-batang pohon cengkeh yang ditanam penduduk sekitar gunung. Berjalan lebih jauh, medan yang saya lalui semakin sulit. Beberapa kali motor yang saya tumpangi bersama Irwan terperosok di jalan tanah berbatu, memaksa saya turun dari motor. "Kalau hujan semakin susah Bang," kata Irwan yang memegang kemudi motor.
Setelah melewati papan petunjuk bertuliskan "Air Terjun Gunung Ranai" yang dilengkapi tanda panah, pemandangan kanan kiri jalan yang terlihat hanya ranting-ranting pohon yang saling bersilangan menghalau ganasnya cahaya matahari. Sesekali suara monyet dan sejumlah suara binatang lainnya seperti jangkrik dan burung, terdengar saling bersautan. Lalu sampailah saya dan Irwan di perhentian pertama.
Bayangan saya tentang pos perhentian di mana ada rumah penduduk atau setidaknya bangunan untuk penjaga hutan, buyar. Sebab, saya diturunkan Irwan di ujung batas jalan yang bisa dilalui motor. Di depannya ada semak belukar yang menutupi jalan setapak menuju air terjun Ranai ataupun puncak gunungnya.
"Abang tunggu di sini saja. Saya akan menjemput Kak Nana," kata Irwan. Nana adalah rekan saya yang ikut pendakian dan menunggu giliran untuk dijemput.
"Di sini Bang?" kata saya bertanya. Tepatnya memastikan, apa benar saya harus menunggu di tengah hutan yang masih jarang didaki orang.
"Iya Bang. Tenang saja, di sini tidak ada harimau seperti di Sumatra. Tak apa-apa kan Bang, Abang berani kan," ujar Irwan sembari memutarkan sepeda motor, menggeber gas, dan ban motor berkembang besar mulai menggaruk tanah melesat menuruni jalan berbatu di kaki gunung.
Saya lalu mulai berhitung. Jarak dari hotel ke tempat saya berdiri setidaknya 4-5 kilometer dengan waktu tempuh 15 menit perjalanan menggunakan sepeda motor. Artinya, saya harus menunggu sekitar 30 menit karena Irwan melakukan dua kali perjalanan untuk menjemput Nana. Saya lalu akan sendirian. Sendirian di hutan yang terbilang masih perawan dan tidak tahu binatang buas apa yang hidup di gunung tersebut.
Karena minimnya persiapan, saya hanya menjinjing tas ransel yang berisi ponsel, kamera, pakaian ganti, kotak obat-obatan, sebotol air mineral, dan tanpa membekali diri dengan seperangkat peralatan mendaki gunung atau senjata seperti pisau lipat dan sebagainya. Saya pun hanya menggenakan sandal jepit, bukan sepatu atau sandal khusus untuk memanjat gunung.
Setelah suara dan bayangan motor Irwan hilang ditelan rimbunnya pepohonan dan suara binatang, suasana menjadi hening. Kabut tipis yang menyapu hutan semakin menambah aura mistis.
Lima menit pertama saya masih mencoba mengabadikan beberapa binatang yang terlihat, seperti laba-laba dan kupu-kupu, dengan bantuan cahaya matahari yang berhasil menyeruak melintasi celah ranting dan daun. Tetapi, di 10 menit berikutnya saya baru tersadar jika saya mendaki di hari Jumat. Hari di mana semua warga Ranai menghentikan semua aktivitasnya, termasuk melaut dan mendaki. Bahkan tidak ada penerbangan dari atau menuju Bandara Ranai di hari Jumat. Berarti tidak akan ada warga Ranai yang akan mendaki gunung hari ini.
Nyali saya sempat menciut saat mendengar beberapa kali batang pohon yang berjatuhan atau suara ranting pohon yang patah karena terinjak sesuatu. Puncaknya, saya mendengar suara seperti pintu kayu ditutup, lengkap dengan gesekan engsel besinya yang jarang diberi pelumas.
Saya lalu memutarkan pandangan ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada pula bangunan apa pun di dekat saya. Hanya ada ranting-ranting pohon yang menjuntai ke lantai. Seingat saya, rumah penduduk terdekat dari tempat saya berdiri berjarak sekitar satu sampai dua kilometer, persis di depan papan petunjuk jalan seadanya yang dipaku di punggung pohon. Saya pun memutuskan membuka aplikasi Alquran di ponsel pintar dan mulai mengeja tiap hurufnya sembari menunggu kedatangan Irwan dan Nana.
Pelangi di Air Terjun Ranai
Lima belas menit berlalu sejak saya mendaras Alquran di ponsel pintar, lamat-lamat deru knalpot berpadu raungan gas motor terdengar. Bayangan Irwan yang memboncengi Nana terlihat di ujung tikungan jalan berbatu.
Setelah memarkirkan motornya di tepi jalan, Irwan berjalan di depan memandu saya dan Nana mendaki jalan setapak yang ditutupi ranting-ranting pohon. Tidak perlu izin khusus dan tidak ada biaya untuk mendaki Gunung Ranai.
Ketinggian Gunung Ranai mencapai 1.035 meter di atas permukaan laut (dpl). Meski masuk kategori gunung dataran rendah, sejak awal pendakian saya disajikan fenomena gradasi berbagai jenis tanaman dari hutan dataran rendah hingga hutan dataran.
Gunung Ranai yang terlihat dari jarak puluhan mil laut juga dijadikan "kompas" bagi warga Natuna. Warga di bagian utara Natuna, seperti warga Pulau Laut, dapat mengetahui arah selatan dengan mudah jika puncak Gunung Ranai. Sedangkan warga yang tinggal dan datang dari arah selatan Natuna seperti dari Pulau Serasan dapat mengetahui arah utara jika puncak gunung itu sudah mulai nampak dari kejauhan.
Selain itu, gunung tersebut, kata Irwan, juga dimanfaatkan warga di wilayah Bunguran untuk melakukan aktivitas, termasuk melaut. "Pertanda alam. Jika gunung berkabut tebal berarti alam sedang tak aman untuk beraktivitas," ucap dia.
Sembari mendaki, Irwan terus menginformasikan, di ketinggian tertentu pendaki gunung akan bertemu tanaman yang biasanya tumbuh di pegunungan di atas 2.000 meter dpl. Di Gunung Ranai, kata Irwan, tumbuh berbagai jenis tanaman seperti meranti (dipterocarpaceae), rasamala (altingia excelsa), keruing (dipterocarpus spp) dan turi (quercus spp). "Ada juga pohon durian. Biasanya berbuah bulan Juli atau Agustus," ucap dia.
Masih kata Irwan, jalan menuju air terjun sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan kurang dari 50 menit berjalan kaki. Jalan setapak yang terbentuk dari undakan akar pohon dan bebatuan, menjadi bumbu perjalanan lintas alam yang harus dilewati. Di 10 menit pertama pendakian, jalan setapak yang saya lewati memiliki kemiringan vertikal sekitar 50-60 derajat. Terkadang jalur jalan setapak sekitar 1,5 meter ditutupi ranting. Tak jarang jalan berbatu dan terhalang batang pohon melintang yang tumbang dari puncak gunungnya, sehingga saya harus menunduk atau melompat untuk melewatinya.
Selepas itu, jalan setapak yang dilewati lumayan cukup datar. Sesekali naik dan turun. Namun, jalan itu berada di pinggiran lembah curam yang terjaga kerimbunannya. Minimnya sinar matahari dan kabut tipis yang membalut hutan membuat perjalanan cukup menegangkan. Di tengah perjalan, saya sempat melihat gerombolan monyet dan tupai yang bergelayut anggun di dahan-dahan pepohonan. Sayang, saya tidak bertemu Kekah, primata langka khas Natuna.
Setelah satu jam berjalan kaki, akhirnya saya sampai di air terjun Gunung Ranai. Meski perjalanan saya hanya sampai air terjun bukan ke puncaknya, namun cukup menguras stamina.
Saat kami datang, volume air tidak terlalu besar, sehingga dasar dari air terjun terlihat. Selain batu granit, dasar air terjun dipenuhi gundukan pasir putih yang sangat mirip dengan pasir di sepanjang garis pantai Pulau Natuna.
Air terjun Gunung Ranai memiliki ketinggian sekitar 20-30 meter dan lebar sekitar 6-7 meter. Volume air yang tidak terlalu deras membuat bebatuan berwarna merah di bagian belakang air terjun berkilauan dihujani bias anak air terjun.
Matahari yang mulai meninggi membuat cahayanya merangsek menusuk sela-sela rerimbunan pohon yang memayungi sekitar air terjun. Sinar matahari yang menerpa butiran-butiran air yang jatuh dari puncak air terjun, memunculkan efek pelangi yang menawan. Perjalanan sekitar satu jam terbayarkan ketika menikmati jelitanya pemandangan di sekitar air terjun.
"Kalau airnya deras, kita bisa mandi di bawah air terjun," kata ayah dua anak ini.
Lokasi di sekitar air terjun sayangnya tidak dirawat dengan baik. Ada satu pondok terbuat dari kayu yang kondisinya sudah lapuk di makan cuaca. Tidak adanya tempat sampah, membuat sejumlah plastik sisa makanan ringan pengunjung berserakan di beberapa sudut wilayah air terjun.
Saat itu tidak ada satu pun pengunjung yang datang. Hanya ada saya, Irwan, dan Nana. "Karena ini hari Jumat. Warga Natuna memilih menghentikan aktivitas, seperti melaut setiap hari Jumat. Karena kami masih memegah teguh kepercayaan leluhur," ucap Irwan yang bekerja sebagai petugas keamanan di PT BRI, Tbk. tersebut.
Setelah puas menikmati keindahan dan mengabadikan air terjun Gunung Ranai, Irwan menyarankan untuk segera turun gunung mengingat cuaca mulai berubah. Langit terlihat mulai digelayuti awan abu-abu.
Sayangnya, saya tidak punya banyak waktu untuk mendaki ke puncak Gunung Ranai. "Jalannya terjal. Kita harus merangkak untuk naik ke puncaknya," ujar Irwan.
Untuk mencapai puncak Gunung Ranai, kata Irwan, harus melampaui tiga puncak berupa tebing batu dengan ketinggian yang berbeda-beda. Puncak pertama bernama Puncak Serendit dengan ketinggian 968 meter dpl yang merupakan gugusan tebing dengan tinggi mencapai 100 meter. Puncak selanjutnya adalah Puncak Erik Samali yang berada pada ketinggian 999 meter dpl, puncak ini adalah tebing kedua setinggi sekitar 150 meter.
Puncak ketiga atau puncak tertinggi bernama Puncak Datuk Panglima Husin, terletak pada ketinggian 1.035 meter dpl. Seperti dua puncak sebelumnya, Puncak Datuk Panglima Husin juga merupakan tebing dengan ketinggian kira-kira 200 meter.
"Biasanya di akhir pekan ramai. Banyak yang mandi di air terjun. Pernah ada cerita penduduk yang mencari kayu sore-sore menjelang Maghrib dan melihat banyak yang mandi di air terjun. Tapi yang mandi (sosoknya) tidak wajar," ujar Irwan di tengah perjalanan pulang menuruni jalan setapak. Saya pun langsung menelan ludah dan memilih berzikir.
Madu Hutan
Di perjalanan pulang, saya sempat mampir ke salah satu rumah penduduk di kaki Gunung Ranai. Selain berteduh dari terjangan air hujan yang sudah turun, saya juga bermaksud membeli madu yang diambil dari lebah hutan yang dipanen warga sekitar.
Saya dibawa Irwan mengunjungi rumah berbentuk panggung milik Bazmin (42 tahun). Bazmin mengatakan madu hutan cukup sulit didapatkan di luar musimnya, yakni sekitar bulan Juni dan Juli. Madu berukuran 600 mililiter dijual Rp 200 ribu.
"Biasanya kalau lagi musimnya harganya Rp 80-120 ribu," tutur Bazmin yang hanya memiliki stok dua botol madu berukuran 600 mililiter.
Bazmin menuturkan, butuh keberanian untuk memanen madu dari sarang lebah di hutan. "Jenis tawonnya besar dan tidak dipelihara. Satu pohon biasanya hanya ada satu sarang lebah. Ketinggian pohon bisa mencapai 30 meter bahkan saya pernah memanjat yang 55 meter," kata pria yang juga anggota Satpol PP di Pemda Ranai tersebut.
Ayah tiga orang anak itu menjelaskan, umumnya warga yang tinggal di sekitar kaki Gunung Ranai bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Tapi ada juga yang bertani dan berkebun. "Seperti cengkeh dan kelapa. Tapi sesekali ada juga yang berburu madu hutan. Sayang, kalau Abang datang di bulan tujuh (Juli), saya ajak ikut mencari madu di hutan," tutur dia.
Di luar rumah panggung berbahan kayu, air sisa hujan menetes di ujung jarum-jarum pohon pinus. Waktu menunjukkan pukul 11.20 WIB dan lamat-lamat suara orang mengaji Alquran terdengar dari pengeras suara Masjid Agung Natuna yang terlihat menawan dari kejauhan. Saya pun pamit karena harus mengejar Shalat Jumat di Masjid Agung yang disebut-sebut sebagai Taj Mahal-nya Indonesia.
(Baca Juga: Masjid Agung Natuna, Taj Mahal di Ujung Utara Indonesia)