Hanya Maut yang Mampu Memisahkan Idris Sardi dan Biolanya
Idris Sardi adalah biola?vice versa. Keduanya menyatu, memberi nyawa satu sama lain, dan akhirnya hanya maut yang mampu memisahkannya.
Lahir di Batavia?sekarang Jakarta?pada 7 Juni 1938, Idris mengenal biola sejak masih belia, tepatnya kala umurnya baru menginjak angka enam. Ia begitu terpikat dengan alat musik yang diidentikan dengan musik klasik ini. Ketertarikan Idris pada biola tak lahir begitu saja. Ayahnya, Mas Sardi, merupakan pemain biola RRI (Radio Republik Indonesia).
Empat tahun kemudian, manakala tinggal di Yogyakarta, Idris berhasil mencuri perhatian publik dengan kemampuannya. Jemarinya meliuk sangat lincah di atas dawai. Orang-orang tak ragu menyebutnya sebagai “anak ajaib.”
Memasuki warsa 1950-an, Idris kecil mendaftar ke Sekolah Musik Indonesia (SMIND) dan diterima, kendati secara umur tak memenuhi persyaratan. Faktor bakat merupakan alasan utama para petinggi sekolah untuk menyetujui proposal Idris.
Di Kota Gudeg, selain belajar di SMIND, Idris juga menimba ilmu pada George Setet, pemain biola asal Hungaria. Ia menyerap materi dasar dari komposisi klasik yang digubah Mozart, Bach, hingga Beethoven. Militansinya mengulik segala hal yang berbau biola mendatangkan prestasi yang tak main-main: Idris duduk sebagai concert master di orkes siswa SMIND pimpinan Nicolai Varvolomejeff.
Pada 1953, Idris mendapat kabar duka: ayahnya meninggal dunia. Keadaan ini membikin Idris ditunjuk menjadi pemain biola, menggantikan sang ayah, di Orkes RRI Studio Jakarta yang dikomandoi Saiful Bahri. Sejak saat itulah karier Idris sebagai violis terbuka dengan lebar.
Meluruskan Stereotip
Di jagat permusikan Indonesia era 1960-an, biola bukanlah tergolong alat musik yang populer. Ia dianggap kelewat segmented?hanya orang-orang dari kelompok tertentu saja, elit katakanlah, yang mampu menikmati sekaligus memahaminya.
Idris Sardi berusaha menepis asumsi tersebut.
Menurut Idris, eksistensi biola?dan musik klasik?sama halnya dengan perkakas yang lain. Musik adalah bahasa universal dan, oleh karenanya, ia dapat dinikmati siapa saja tanpa harus dipisahkan dalam bilik yang berbeda.
Upaya Idris mengenalkan biola, sebagaimana ditulis kritikus musik almarhum Denny Sakrie dalam “Mengenang Idris Sardi” (2014), dimulai ketika ia memimpin Orkes Simfoni tampil di acara TVRI pada 1976, mengiringi kelompok vokal Saka Suara yang beranggotakan Chrisye, Keenan Nasution, serta trio Hutauruk (Berlian, Rugun, Bornok).
Akan tetapi, animo masyarakat terhadap acara yang disponsori oleh Astra International itu sangatlah rendah.
“[...] begitu acara ini ditayangkan, kebanyakan penonton langsung mematikan TV. Mereka enggak ngerti. Mereka merasa musik klasik berat. Dan ini perlu waktu ke arah itu [meningkatkan minat masyarakat],” kata Idris.
Selain ditinggalkan masyarakat, apa yang ditawarkan Idris dengan kelompok orkestranya juga dicela para kritikus.
“Saya ingat benar ketika Franki Raden hingga Suka Hardjana mengecam saya bahwa Orkes Simfoni, ya, [termasuk] musik klasik. Dan menurut saya, anggapan itu keliru besar,” tambahnya, masih mengutip tulisan Denny Sakrie.
Di tengah kegamangan itu, Direktur Jenderal Radio, Film, dan TV (RTF) Departemen Penerangan, Sumadi, menantang Idris untuk membikin musik klasik, biola, maupun orkestra menjadi lebih dekat kepada masyarakat dengan membuat acara rutin sebulan sekali di TVRI. Idris, tanpa pikir panjang, menerima tantangan?atau tawaran?Sumadi.
“Saya pun mengajukan konsep. Tau enggak apa konsepnya? Saya ingin mengedukasi penonton dengan tidak serta merta langsung [menyajikan] musik klasik yang kelontokan,” Idris bilang.
Idris kemudian mengaransemen ulang lagu-lagu daerah, perjuangan, keroncong, sampai populer dalam bentuk orkestra. Tak dinyana, respons publik sangat positif.
“Ketika saya memainkan “Walang Kekek” dan “Es Lilin,” penonton terbawa dan terhanyut karena mereka kenal dengan lagu-lagu ini,” terang ayah dari aktor Lukman Sardi ini.
Dari layar kaca, eksistensi Idris melebar hingga panggung-panggung berskala besar. Idris dan Orkes Simfoni, misalnya, diajak berpartisipasi oleh kibordis Yockie Suryoprayogo dalam helatan “Musing Saya Adalah Saya” di Balai Sidang Senayan pada 1979.
Lalu, Idris juga pernah tampil berkolaborasi bersama sederet band rock papan atas seperti SAS hingga Giant Steps. Penampilan mereka merupakan gambaran bagaimana rock dan musik klasik bisa melebur.
Tak hanya lewat panggung musik, usaha Idris mengenalkan musik klasik dan biola juga hadir di semesta film. Pada 1971, Idris didapuk menjadi penata musik film Pengantin Remaja garapan Wim Umboh yang dibintangi Sophan Sophiaan dan Widyawati. Film Pengantin Remaja sukses secara komersial serta menandai lahirnya genre baru dalam sinema Indonesia bernama melodrama.
Setelah bekerja sama dengan Wim, Idris diminta Teguh Karya untuk mengisi scoring dalam dua filmnya: Cinta Pertama (1974) dan Doea Tanda Mata (1985). Hasil kerja Idris di film Wim dan Teguh kemudian diganjar penghargaan Piala Citra untuk kategori Penata Musik Terbaik. Total, Idris telah terlibat dalam 189 proyek film.
Musik yang disusun Idris semakin menghidupkan kegetiran dalam narasi romansa yang diangkat baik Wim maupun Teguh di setiap filmnya.
Perjalanan karier Idris terus berlanjut, menggelinding melintasi zaman. Musiknya, makin ke sini, makin diterima publik. Sosoknya pun juga mendapatkan tempat khusus di kalangan musisi yang lain: menjadi mentor sekaligus kolaborator.
Bila dulu ia kerap berbagi ilmu dengan Keenan Nasution, Addie MS, Candra Darusman, Yockie, dan Riza Arshad di Jalan Pegangsaan, maka di era kiwari, Idris tak ragu untuk menyalurkan ilmu?dan pengalamannya?kepada Peterpan (Noah) sampai Padi.
Sebagaimana musik yang tak pernah mati, kontribusi Idris Sardi jugalah demikian. Dan hari ini, tepat ketika ia berpulang tujuh tahun yang lalu, kita kembali diingatkan pada sumbangsihnya untuk musik Indonesia.
Baca juga artikel terkait MILD REPORT atau tulisan menarik lainnya Faisal Irfani