Good News is Good News: Membaca Tren Jurnalisme Positif
“Siswa SMP di Texas mengambil-alih kemudi sewaktu sopir bus sekolahnya tiba-tiba mengalami darurat medis saat menyetir. Karson Vega, Siswa Kelas 7, mengemudikan bus ke tempat aman, sementara Kyler Buzek, siswa SMA kelas dua, menelepon 911; sopir itu sudah pulang dari rumah sakit dan sedang dalam masa penyembuhan: ‘Saya sangat bangga kepada para siswa kami, karena dalam situasi kritis, orang perlu mengambil inisiatif, dan mereka melakukannya.’”
Demikianlah In Better News mengantarkan salah satu berita pada 7 Februari 2018 lalu. In Better News merupakan newsletter harian milik Erin Ruberry, mantan jurnalis Huffington Post dan Discovery Communications. Dalam newsletter-nya itu Ruberry hanya mengumpulkan berita-berita dari situs lain, memberinya pengantar, dan menyediakan tautan ke artikel aslinya.
Selain kejadian di Texas, pada hari itu Ruberry memberi pengantar singkat mengenai lelaki bernama Paul Thomarios yang mendonasikan mobil mainan sebanyak 17.000 kepada pasien anak kecil di Rumah Sakit Anak Akron dan usaha pemerintah kota Los Angeles menggalang dana bagi tuna wisma lewat pembuatan kotak amal berbentuk parking meter. Dalam newsletter-nya itu Ruberry pun menautkan video-video lucu dan menggemaskan, biasanya binatang peliharaan.
Hal mirip dilakukan pula oleh Desiree Shoe, jurnalis The New York Times. Seminggu sekali Shoe mengumpulkan berita-berita, memberinya pengantar, dan menyediakan tautan ke artikel aslinya. Rubrik yang ia asuh itu bernama “This Week in Good News.”
David Beard menyebut keduanya dalam artikel "Turning to ‘Good News’ in Troubled Times" di poynter.org sebagai dua contoh dari gejala mempromosikan berita-berita yang mengandung “kabar baik”. Beard menyebut keduanya telah "menemukan peluang untuk melawan arus".
Berita Negatif VS Berita Positif
Terdapat adagium yang sudah menjadi klasik di dunia jurnalistik: bad news is good news. Kabar buruk adalah berita yang bagus.Adagium itu tercermin dalam lanskap pemberitaan di berbagai media massa. Kesan yang menyolok adalah dunia seolah-olah hanya diisi kejadian-kejadian yang mencemaskan. Korupsi, kisruh politik, serangan teroris, banjir, kelaparan, dll. Kalau ada yang memberitakan kabar baik, porsinya kecil dan jarang sekali ada media yang menempatkannya di halaman depan.
Sebagaimana disinggung Jhon Tierney di The New York Times, pandangan umum dalam dunia jurnalistik adalah “bad news sells”. Semakin berdarah, semakin bernilai (sebagai berita). Berita baik itu bukan berita.
Namun, kecenderungan media yang memberi porsi lebih besar pada “berita buruk” ini belakangan mulai dipertanyakan, terutama eksesnya. Betapa pun kabar-kabar buruk itu memang nyata, akan tetapi tidak sedikit yang cemas hal itu bisa berdampak buruk bagi psikologi para pembaca. Apalagi di era media sosial seperti sekarang, ketika kekerasan verbal dan hoax berseliweran seperti tak ada hentinya.
The Guardian mengutip pendapat pengajar psikologi dan sains kognitif dari Universitas Sheffield, Tom Stafford: alasan kenapa dari dulu berita berpusat pada hal-hal negatif karena itu berhubungan dengan insting ketakutan manusia. Konsekuensinya adalah berita negatif secara umum lebih menarik perhatian.
“Hal itu mengindikasikan ada sesuatu yang layak kita khawatirkan—sesuatu yang membuat kita harus mengubah arah hidup kita, atau bertindak dengan cara tertentu,” kata Tom Stafford. “Itu kenapa kita memberi perhatian lebih pada berita negatif, yang mengindikasikan keadaan tidak berjalan dengan baik, karena itu kita mungkin harus bertindak.”
Sedangkan menurut Seán Dagan Wood, pemimpin redaksi The Positive News, yang juga dikutip The Guardian di artikel yang sama: “Fokus industri [berita] pada berita buruk biasanya bertujuan baik, yang berangkat dari komitmen utama sebagai kontrol sosial (society’s watchdog),” katanya. “Namun, bagi media massa secara keseluruhan mentalitas seperti ini sudah melenceng terlalu jauh. Orang-orang sudah bosan dengan negativitas media.”
Perlahan-lahan sejumlah media besar, seperti di Inggris dan Amerika, mulai membuat rubrik yang mencoba untuk menampilkan “berita baik” atau “berita positif” untuk menyeimbangkannya.
Washington Post, misalnya, pada 2014 meluncurkan "The Optimist", kompilasi mingguan berita-berita “yang menginspirasi”. Pada 2016, The Guardian membuat rubrik "Solutions and Innovations". Tak ketinggalan New York Times pun membuat rubrik “This Week in Good News” pada akhir Desember kemarin.
Dari Berita Positif ke Jurnalisme Konstruktif
Penulisan “berita baik” sebenarnya sudah ada sejak 1993 silam. The Positive News yang didirikan Shauna Crockett-Burrows merupakan media pertama yang menggunakan pendekatan baru dalam jurnalisme. Ia mencanangkan tujuan “untuk melawan negativitas dalam media arus utama dan memberitakan orang-orang serta inisiatif-inisiatifnya dalam menciptakan dunia yang sejahtera dan berkelanjutan.”
“Bentuk jurnalisme yang lebih positif tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan kita,” kata Seán Dagan Wood dikutip Columbia Journalism Review, “tetapi juga akan membuat kita terlibat dengan masyarakat dan itu akan membantu mempercepat proses ditemukannya solusi potensial untuk masalah-masalah yang kita hadapi.”
Dalam perkembangannya oplah The Positive News mencapai 50.000 eksemplar untuk memberitakan berbagai perubahan positif di berbagai bidang kehidupan seperti “ekonomi baru, agrikultur organik, dan energi terbarukan.” The Positive News pun memiliki beberapa edisi seperti di Spanyol, AS, Argentina, dan Hongkong.
Sejak saat itu tren menulis berita positif menyebar. Banyak media-media lain, selain The Positive News, yang mengkhususkan memuat berita positif, misalnya seperti Good News Network.
Dari segi bisnis pun aktivitas jurnalistik ini cukup menjanjikan. Konten berita positif kemungkinannya lebih banyak dibagikan dibanding berita konvensional. Jessica Prois, editor eksekutif Good News dan Impact milik Huffington Post, memberi kesaksian:
“Pengunjung berita 'Good News' dua kali lebih besar kemungkinannya untuk dibagikan atau memberikan komentar daripada jika dia hanya membaca berita HuffPost biasanya,” katanya kepada Laura Olivier dari The Guardian.
Namun, bagi sebagian jurnalis, usaha menyeimbangkan berita buruk dengan hanya membuat berita baik dipandang tidak cukup. Banyak media yang memuat berita-berita positif lebih mirip infotainment daripada jurnalisme. Padahal ada perbedaan antara berita positif dan berita yang mengaplikasikan jurnalisme konstruktif.
David Bornstein, salah satu pendiri Solution Journalism Network, menjelaskan perbedaan keduanya. “Solusinya bukan memproduksi lebih banyak berita positif melainkan menciptakan lebih banyak pengetahuan, berupaya sungguh-sungguh memahami bagaimana dunia ini bekerja, dan kekuatan apa yang bermain sewaktu [kita] mencoba memecahkan masalah-masalah ini,” katanya pada Lene Bech Sillesen dari Columbia Journalism Review.
Pandangan dari Indonesia
Di Indonesia sendiri praktik yang mirip penulisan berita positif sudah ada sejak 2008. Good News from Indonesia (GNFI) menjadi media pertama yang mengkhususkan diri menulis berita-berita positif tentang Indonesia di berbagai bidang mulai dari budaya, pariwisata, pendidikan, olahraga, militer, sains, ekonomi. Meski demikian, Akhyari Hananto, pendiri sekaligus pemimpin redaksi GNFI, menuturkan pendirian GNFI tidak secara langsung dipengaruhi oleh Shauna Crockett-Burrow dan The Positive News.
“Waktu itu dasar dibentuknya GNFI sebenarnya ada dua. Pertama, kurang baiknya reputasi Indonesia di luar negeri. Kedua pudarnya [sedikit demi sedikit] kebanggaan dan kecintaan anak muda Indonesia pada bangsanya,” katanya ketika dihubungi Tirto.
Namun, Hananto menambahkan, dalam beberapa hal ia memang mencontoh apa yang dilakukan Shauna Crockett-Burrow. Menurutnya GNFI dibentuk untuk memberi informasi alternatif, “untuk mengimbangi banyaknya berita negatif dari televisi dan media mainstream”.
“Sebisa mungkin, setiap artikel, produk visual, dan informasi lain [yang kami buat] akan membawa harapan dan inspirasi pada audience,” tutur lelaki yang juga pendiri situs Seasia; Good News from Southasia ini.
Menurut Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), penulisan berita positif di Indonesia sudah dilakukan oleh sebagian media di Indonesia. Undang-Undang pun memberikan opsi itu.
“Dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, pers memiliki fungsi sebagai media pendidikan, hiburan dan alat kontrol sosial. Berita baik ada pada ranah 'media pendidikan' itu,” katanya kepada Tirto.
Namun, Abdul Manan menambahkan penulisan berita positif itu ada plus-minus-nya.
“Memang ada kebutuhan untuk memberi tempat bagi berita baik di media di tengah kebosanan publik dengan berita buruk yang mungkin selama ini banyak di media. Tapi tentu saja itu juga harus proporsional. Media menulis sisi tidak baik sebuah peristiwa agar menjadi koreksi. Inilah fungsi kontrol sosial itu,” jelasnya.
Baca juga artikel terkait JURNALISME atau tulisan menarik lainnya Zen RS