Astari dan Tradisi Sunat Perempuan Jawa
“Loh, emang kamu disunat?”
Pertanyaan itu spontan terucap dari bibir saya kala Astari, sahabat kental saya, bercerita kalau dia disunat saat masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar.Saya yang perempuan nonmuslim, tak pernah mengenal budaya sunat perempuan. Sebelum mendengar cerita Astari, saya belum pernah sekalipun menjumpai kawan yang pernah disunat di masa kecilnya.
Term “sunat perempuan”--yang barang baru bagi saya--untuk kedua kalinya saya dengar. Kali pertama, saya mendengarnya dari Rabab, seorang kawan asal Sudan, ketika kami menghadiri konferensi jurnalis di Edinburgh, Inggris, belum lama ini.
Rabab bercerita, sunat perempuan umum dilakukan di Afrika. Padahal, Majelis Umum PBB pada akhir 2012 telah mengadopsi sebuah resolusi untuk menghapus female genital mutilation/cutting (FGM/C) atau sunat perempuan di dunia.
Itu tak heran, sebab “mengatur” dunia adalah nyaris mustahil. Terlebih dengan beragam kultur dan keyakinan yang dianut manusia--meski mungkin tak semua masuk akal.
Faktanya, menurut WHO dan UNICEF, sedikitnya 200 juta perempuan di 30 negara di dunia disunat, meski tradisi sunat perempuan di tiap negara--seperti yang belakangan saya ketahui--bisa amat berbeda satu sama lain.
Sunat perempuan ternyata juga dialami Astari, teman karib saya. Tapi saya mestinya tak perlu heran, sebab Indonesia berdasarkan data UNICEF tahun 2010-2015, berada di peringkat ketiga teratas dunia dalam angka sunat perempuan usia 0-14 tahun.
Terus apanya yang dipotong, dan kenapa harus dipotong?
Pertanyaan itu terus berputar di benak saya, mendorong untuk menggali lebih jauh tentang tradisi sunat perempuan. Dan melihat saya begitu penasaran, Astari membagikan kisahnya.
Astari memulai cerita dengan ingatannya saat hendak disunat pada usia 8 tahun. Ketika itu, Astari dibawa dari Jakarta ke Wonogiri, Jawa Tengah.
“Sunatnya diselenggarain di Wonogiri. Di sana, saya dipakein kemben, masuk ke sebuah ruangan, disuruh tiduran. Terus ada orang yang nyunat, semacam bidan. Saya gak terlalu ngelihat apa yang dia lakuin, cuma saya merasa di sekitar antara paha dan selangkangan tuh kayak dicoel atau entah diapain. Pokoknya ada yang nyentuh,” kata Astari di kediamannya, Cinere, Depok, (2/8).
Astari saat itu tak sendirian. Ia menjalani prosesi sunat bersama sang kakak yang waktu itu juga belum disunat.
Selepas disunat, Astari dibopong ayahnya ke panggung. Selaiknya pengantin Jawa, ia lalu menjalani ritual siraman. Prosesi ditutup dengan acara makan bersama keluarga besar dan tetangga sekitar.
Seharian itu, Astari dan kakaknya bak putri raja--menjadi pusat perhatian, dirias dengan apik dan rancak.
Seremoni sunat Astari dan kakaknya bahkan tak hanya dilangsungkan di Wonogiri, namun juga di Solo. Ini tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi, dan dirayakan dengan penuh bahagia--sebuah siklus kehidupan yang dialami tiap perempuan yang lahir di keluarga besar Astari.
Kini, kakak Astari yang baru melahirkan seorang bayi perempuan, pun telah menyunatkan anaknya itu ke bidan dekat rumahnya.
“Dikhitan juga bayinya. Katanya, wanita itu kan ada selaputnya (pada klitoris), jadi itu sebenarnya yang dihilangin,” ujar Astari.
“Karena ini sunah, saya sebagai muslim mengikutinya,” kata Astari, tentang praktik sunat perempuan yang diterapkan di keluarganya.
Sepengetahuan Astari, terdapat hadis yang menjelaskan bahwa laki-laki itu wajib disunat, sedangkan perempuan tidak, namun yang melakukannya akan mulia.
“Saya memandang itu sebagai ajaran, meski sebenarnya tidak dijelaskan dalam hadis kalau wanita harus disunat. Tapi ada hadis yang menjelaskan kalau misal lelaki duduk di antara empat bagian tubuh perempuan--maksudnya kedua tangan dan kedua kedua kaki--dan khitan bertemu khitan, ia harus mandi wajib. Dari hadis itu, saya mengartikan ‘kalau khitan ketemu khitan’ berarti wanita boleh dikhitan,” ujar Astari.
Hadis yang dimaksud Astari itu ialah Hadis Riwayat Bukhari I/291, Muslim 349 yang persisnya berbunyi, “Apabila seseorang laki-laki berada di empat cabang wanita (bersetubuh dengan wanita) dan khitan menyentuh khitan, maka wajib mandi.”
Ada pula H.R Tirmidzi 108 yang berbunyi, “Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.”
Sementara H.R Al Khatib dalam Tarikh 5/327 berbunyi, “Apabila engkau mengkhitan wanita, sisakanlah sedikit. Jangan potong (bagian kulit klitoris) semuanya, karena itu lebih bisa membuat ceria wajah dan lebih disenangi oleh suami.”
Penjelasan Astari, ditambah hasil riset kawan-kawan saya soal itu, menjadi ilmu baru buat saya. Hadis terakhir terutama, menjelaskan bahwa sunat perempuan dalam Islam berbeda dengan praktik sunat perempuan yang ekstrem, semisal dengan menghilangkan total (memutilasi) klitoris--daging atau gumpal jaringan kecil yang terdapat pada ujung atas lubang vagina.
Praktik ekstrem itu jamak ditemukan di Afrika. Mendengarnya, Astari kaget. Ia tak menyangka ada praktik sunat perempuan yang tega memotong seluruhnya bagian paling sensitif dari tubuh seorang perempuan.
“Wah, saya kurang setuju kalau pakai metode dipotong, karena itu kan bagian vital perempuan, dan di hadis gak dibilang harus dipotong, malah dibilang kalau dipotong jangan semuanya,” kata Astari.
Kebetulan di rumah Astari ada sang ayah. Saya pun memberanikan diri mengajak ayah Astari mengobrol--yang kebetulan, kata dia, sedang tak disibukkan agenda rapat di kantor.
Ayah Astari ternyata masih keturunan bangsawan. Ia asli Wonogiri dan masuk garis keturunan Mangkunegara--penguasa kerajaan otonom (pecahan Mataram) di Surakarta pada 1757 sampai 1946, dengan otoritas di bawah Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.
Jelas, darah Jawa mengalir pekat dalam keluarga “ningrat” Astari. Dan dalam lingkaran keluarga besar yang menjunjung kental budaya Jawa, sunat perempuan dimuliakan.
Di sini, tradisi Jawa bercampur dengan keyakinan Islam keluarga yang memandang sunat perempuan sebagai sunah--perbuatan yang bila dilakukan akan mendatangkan kebaikan.
“Kalau dilihat secara umum, kebiasaan (sunat) itu di Jawa relatif bagus, dianggap sudah terbuktilah di mana-mana. Selain karena tradisi Jawa itu, di Islam pun dianggap mulia. Dan di keluarga saya, turun-temurun dari nenek moyang, perempuan yang disunat bagus-bagus saja. Kami lihat tidak ada sisi negatifnya. Jadi kami lakukan itu,” kata ayah Astari.
Sunat perempuan ialah budaya yang tak bisa dipisahkan dari keluarga Astari.
“Bagi saya, mudahnya, ini memang tradisi. Paling gampang kita berkaca dari keluarga saja, bahwa nenek, ibu, dan saudara perempuan saya melakukannya. Dan pada tetangga dan masyarakat di Jawa, itu sesuatu hal yang biasa. Apalagi di agama Islam sudah dibicarakan kalau sunat itu laki-laki wajib, perempuan dimuliakan,” kata ayah Astari.
Saya mengangguk, mulai memahami pandangan sebagian dari mereka yang mempraktikkan sunat perempuan.
Obrolan dengan ayah Astari menutup penelusuran saya hari itu atas praktik sunat perempuan di Indonesia. Tapi, saya masih ingin tahu, selain tradisi Jawa, bagaimana dengan sunat perempuan pada budaya daerah lain di nusantara ini?
Saya beranjak, berpamitan pada Astari dan keluarganya sembari mengeluarkan notes. Saya catat baik-baik tiap pertanyaan yang muncul di benak, bersama jawaban yang telah didapat.
Secepatnya saya akan mencari sisa jawabannya.
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan mem-follow topik Liputan Khusus di kumparan.