Adaptasi Taktik Baru Guardiola: Tempatkan Kiper Seperti Seorang Bek
Manchester City memulai perjalanan mereka di musim 2019/2020 dengan trofi Community Shield FA 2019. The Citizens merengkuh trofi tersebut untuk kali kedua secara beruntun dengan menundukkan musuh bebuyutan mereka musim lalu, Liverpool, Ahad (4/8/2019) malam waktu Indonesia.
Sempat bermain imbang 1-1 pada waktu normal, Kevin De Bruyne dan kawan-kawan keluar sebagai pemenang dengan skor adu penalti 5-4. Kiper kedua mereka, Claudio Bravo, yang mendapat kesempatan tampil penuh di laga ini menjadi penyelamat karena berhasil menahan satu tendangan penalti yang dieksekusi Giorginio Wijnaldum.
Bravo juga tampil gemilang sepanjang 90 menit waktu normal. Menurut hitung-hitungan Whoscored, mantan pemain Barcelona ini menorehkan tujuh aksi penyelamatan. Maka, tak heran jika pelatih City, Pep Guardiola menyanjungnya pada konferensi pers setelah laga.
"Aku sangat terpesona dengan penampilannya. Bukan hanya hari ini, tapi setelah segala yang telah terjadi karena dia bukan pemain muda lagi," tutur Guardiola seperti dilansir laman resmi City.
"Dia adalah kiper pelapis yang luar biasa. Hari ini dia menyelamatkan kami berkali-kali dan tentu dia melakukan tugasnya dengan baik saat adu penalti," imbuhnya.
Guardiola bukanlah pelatih kelas teri. Sejak melatih Barcelona, Bayern Munchen, sampai Manchester City, dia selalu mematok standar tinggi untuk para pemainnya. Maka, mustahil Pep sampai memuji seorang penjaga gawang hanya karena jumlah penyelamatan atau aksi saat adu penalti.
Benar saja, Pep tidak memuji penampilan Bravo cuma karena satu faktor. Ada aspek lain yang bikin pelatih kelahiran Barcelona itu puas dengan performa Bravo yakni penampilan si penjaga gawang saat membangun serangan.
"Dia punya kemampuan bagus melakukan build-up, dia sangat tenang dan itu bikin kami menang hari ini. Semua pemain saya memberikan kontribusi menakjubkan, tapi dialah yang memenangkan pertandingan hari ini," ujar Guardiola.
Peran Baru Kiper dalam Skema Guardiola
Saat melawan Liverpool kemarin, khususnya di babak pertama, Guardiola membebankan peran unik pada Bravo. Aturan tendangan gawang baru IFAB (PDF), yang membolehkan seorang bek menerima umpan tendangan gawang dari kiper di kotak penalti sendiri, menjadi dasar tercetusnya peran unik tersebut.
Saat membangun serangan dari belakang, Guardiola selalu menginstruksikan satu beknya, Nicolas Otamendi turun ke kotak penalti untuk membentuk satu baris tambahan bersama Bravo. Pada saat bersamaan, satu gelandang City, Rodri, ikut turun mengisi pos kosong yang ditinggalkan Otamendi ke bawah. Situasi ini otomatis bikin skema build-up City berubah, dari 4-3-3 (belum termasuk kiper) menjadi 2-4-2-3 (termasuk kiper).
Skema baru ini bikin Liverpool gagal melakukan pressing dengan efektif. Sebab aturan IFAB menyebutkan pemain lawan (dalam hal ini Liverpool) tidak boleh masuk ke kotak penalti City sebelum kiper mengeksekusi tendangan gawang. Artinya, saat pertama kali menyentuh bola, dua pemain yang mengawali build-up City di dalam kotak penalti (Claudio Bravo dan John Stones) dipastikan aman dari pressing lawan.
Sepanjang babak pertama, Liverpool kesulitan menahan build-up para pemain City. Tak heran kalau akhirnya City pun bisa unggul 1-0 di babak pertama.
Besarnya kontribusi Bravo dalam build-up City juga tampak dari statistik. Di babak pertama, menurut hitung-hitungan Squawka, kaki Bravo 42 kali menyentuh bola. Jumlah sentuhan ini bahkan lebih banyak dibanding seluruh pemain City lain. Masih pada babak pertama, di atas lapangan bahkan hanya satu pemain Liverpool, Joe Gomes yang punya torehan sentuhan kaki lebih banyak dari Bravo (50).
Tidak cukup di situ, saat City dalam posisi aktif dan tekanan Liverpool mengendur, Bravo tak jarang naik ke luar kotak penalti untuk melakukan umpan satu-dua dengan rekannya layaknya seorang bek. Maka sepanjang pertandingan, Bravo tercatat melakukan 52 umpan dan 40 di antaranya dilakukan pada babak pertama.
Angka ini jelas tak lazim untuk ukuran seorang penjaga gawang. Buktinya dalam pertandingan yang sama kiper Liverpool, Alisson Becker cuma mengumpan sebanyak 39 kali.
Fakta bahwa Guardiola dan City punya senjata baru untuk mengatasi pressing lawan jelas bukan kabar baik untuk dua pesaing terdekat Manchester City (berpatokan dari hasil musim lalu), Liverpool dan Tottenham Hotspur. Sebab sebagaimana analisis penulis buku The Mixer: The Story of Premier League Tactics (2017), Michael Cox, dalam dua musim ke belakang Spurs dan Liverpool selalu jadi tim yang bergantung pada pressing.
"Beda di antara mereka adalah Spurs mengandalkan serangan efektif, sementara Liverpool menggunakan pergerakan cepat dan dinamis setelah berhasil merebut bola dengan pressing," tulis Cox dalam sebuah artikel di ESPN.
Namun bukan berarti penemuan Guardiola akan mengakhiri keseruan EPL. Sebab, penemuan-penemuan Guardiola sebelumnya justru kerap memantik upaya tak kalah inovatif dari para kompetitornya.
Di dua tahun awal sejak tiba di Inggris, misalnya, Guardiola membawa pendekatan inverted fullback dan pelatih Liverpool, Jurgen Klopp meresponsnya semusim berselang dengan pendekatan taktik yang kontras sekaligus tak kalah menarik: menciptakan dua fullback yang bermain melebar dan punya kemampuan crossing di atas rata-rata.
Musim lalu, saat City memainkan skema 4-3-3 yang luwes dan mengandalkan Fernandinho sebagai dinamo, Klopp pun merespons dengan menghadirkan sosok Fabinho sebagai dirigen baru yang tak kalah mumpuni.
Dengan Claudio Bravo (dan kemudian Ederson), Guardiola telah membuktikan kalau dirinya bisa memaksimalkan setiap perubahan aturan dalam sepakbola untuk mengembangkan taktiknya. Kini, PR besar menanti Klopp dan manajer-manajer EPL lain. Bagaimana mereka akan mengatasi taktik baru Guardiola?
Baca juga artikel terkait LIGA INGGRIS atau tulisan menarik lainnya Herdanang Ahmad Fauzan