5 Kesalahan yang Sering Menimpa Seorang Social Entrepreneur
Kemiskinan, pengangguran, dan sederet masalah sosial lainnya ibarat mata air-air mata; bisa membuat kita sedih, gelisah dan meratapi kondisi.
Beberapa tergerak jadi solusi, ada yang berdonasi, urunan tenaga jadi relawan, ada yang membuat proyek sosial, dan ada juga yang terjun lebih dalam untuk melakukan intervensi sosial dengan pendekatan bisnis.Yang terakhir ini punya sebutan yang cukup keren: social entrepreneur.
Berikut lima kesalahan yang perlu diwaspadai seorang social entrepreneur dalam menjalankan aktivitasnya:
Obat tapi tidak mengobati
Saya pernah mendengar kisah seorang social entrepreneur di Kenya yang melakukan intervensi sosial ke kemah pengungsian dengan memberikan makanan padat gizi ke balita penderita malnutrisi. Program berjalan sesuai rencana. Setiap hari ibu-ibu datang mengambil jatah makan anaknya. Namun setelah beberapa tahun ternyata angka malnutrisi tidak turun signifikan, padahal program sudah menghabiskan jutaan dolar. Apa penyebabnya?
Tidak ada yang salah dengan makanan yang diberikan, tidak pula dengan si anak. Ternyata penyebab utama adalah para ibu yang menimbun makanan dan cenderung tidak ingin anaknya bebas malnutrisi. Kenapa? Karena bila anaknya sehat, maka asupan makanan gratis ini akan berhenti.
Jebakan seperti ini sering terjadi, khususnya pada para penggiat dunia sosial. Mereka begitu percaya diri dengan solusi yang dibawa. Sayangnya, “solusi” itu justru jadi pil plasebo— pil yang memberi efek psikologis yang positif, tapi tidak mengobati. Pada tahap inilah riset menjadi penting untuk mengetahui akar masalah, bukan hanya gejala yang kasat mata.
Seperti ameba
Masih ingat bagaimana bentuk ameba? Badannya melar kian kemari. Ia bisa tumbuh di satu sisi, bisa pula di sisi lain. Begitu pula para aktivis yang generalis. Hari ini mengurusi pendidikan, besok kesehatan. Besoknya lagi sudah bicara lingkungan, padahal sumber daya terbatas.
Setiap social entrepreneur harus tumbuh seperti sebuah panah: ramping, fokus, dan tajam! Apapun masalahnya, jika ditekuni dengan fokus pasti perlahan ada jalan keluar. Tapi sekali saja kamu berpindah-pindah, maka kurva pembelajaran juga menjadi tidak optimal.
Coba kita lihat Indonesia Mengajar, dari dulu sampai sekarang mengurusi pendidikan, lebih spesifik lagi pendidikan dasar. Indonesia Mengajar tidak pernah bicara masalah kesehatan atau lingkungan. Fokus dalam konteks ini, selain mencakup bidang gerak, bisa juga lokasi pemberdayaan atau segmen penerima manfaat. Semuanya butuh fokus dan ketekunan.
Terkadang ketidakfokusan ini juga muncul bukan semata keinginan internal, tapi juga karena ada kesempatan atau dorongan eksternal, misalnya tawaran dana. Untuk itu, penting untuk melihat kembali apa misi utama organisasi. Bergeraklah sesuai dengan misi kamu, bukan dikendalikan dengan berbagai kesempatan yang muncul.
Menggantikan Tuhan
Idealnya intervensi sosial yang dilakukan mampu menciptakan kemandirian, beda dengan bantuan sosial yang cenderung menciptakan ketergantungan. Bahayanya lagi skema relasi pemberi-penerima ala bantuan sosial membuat social entrepreneur mulai dianggap sebagai “tuhan” yang bisa memberikan segala-galanya. Padahal setiap insan punya potensi untuk mandiri dan berdiri di atas kaki sendiri.
Ambil contoh Telapak, social enterprise asal Kendari, Sulawesi Tenggara. Telapak menyelesaikan masalah penebangan liar melalui sistem pengelolaan hutan berbasis komunitas (community logging) dengan koperasi sebagai payungnya.
Alhasil masyarakat lebih sejahtera karena mampu menjual kayu-kayu yang tersertifikasi dengan harga yang layak, bahkan ke pasar internasional. Keuntungan dikelola dalam unit usaha yang dimiliki bersama. Lebih penting lagi hutan menjadi lestari karena penebangan dilakukan secara bertanggung jawab.
Kini Telapak merambah daerah-daerah lain dan masyarakat yang ditinggalkan tetap bisa sejahtera dengan unit usaha yang mereka miliki bersama. Pemberdayaan masyarakat haruslah menciptakan individu berdaya dan punya harga diri, bukan bergantung dan ingin selalu diberi.
Tergesa-gesa
Di Seattle Foundation, saya pernah mendapat materi tentang strategi perubahan sosial. Tiga cara diutarakan yakni Intervention, Prevention, dan Systemic Change. Untuk Intervention umumnya berbentuk tindakan langsung yang menjadi solusi jangka pendek.
Prevention berarti pencegahan agar masalah tersebut tidak terulang. Systemic Change sifatnya advokasi atau lobi agar terjadi perubahan pada level pengambilan kebijakan dan regulasi.
Ambil contoh masalah pendidikan. Level intervensi berbentuk donasi buku atau alat tulis, level preventif membangun sekolah-sekolah baru, dan level perubahan sistemik adalah perubahan kurikulum atau peningkatan gaji guru.
Social Entrepreneur baiknya memilih salah satu pendekatan di atas, lalu perlahan masuk ke pendekatan yang lebih strategis dengan masalah yang lebih besar. Strategic philanthropy approach menyebutkan agar kita menyelesaikan satu masalah, kemudian mengembangkan program spesifik untuk diimplementasikan tahap demi tahap.
Semua dilakukan dengan tahapan dan proses, penuh kesabaran bukan tegesa-gesa. Terlebih objek bukan benda mati, melainkan manusia dengan segala kompleksitasnya sebagai individu ataupun sebagai anggota masyarakat. Bukankah mengubah diri sendiri saja sulit, apalagi mengubah orang lain?
Napas pendek
Seperti banyak dibahas, menjadi entrepreneur punya risiko besar, tekanan tinggi, dan sering menghadapi resistensi. Lalu menambah kata “social” di depan kata “entrepreneur” tidak membuat situasi jadi lebih baik. Terlebih bicara resistensi, profesi social entrepreneur adalah pilihan nonpopuler yang sulit dimengerti: “Kamu ini mau bantu orang atau cari duit, enggak jelas!”
Dari segi finansial, menjadi social entrepreneur juga bisa dibilang tidak efisien, karena harus mengakomodasi biaya-biaya tambahan yang dalam kaca mata bisnis tidak menguntungkan. Misalnya dalam konteks keuangan mikro, tengkulak beroperasi dengan sangat efisien. Mereka meminjamkan uang lalu menagih dengan bunga tinggi.
Tapi, apa yang dilakukan Leonardo Kamilius, Andi Taufan, dan social entrepreneur lainnya berbeda. Mereka tidak hanya meminjamkan tapi juga melakukan pelatihan kepada masyarakat, memberikan edukasi cara mengelola uang, merencanakan tabungan pendidikan anak dan sebagainya. Secara bisnis tidak penting, tapi di sanalah dampak sosial yang dibutuhkan.
Dalam konteks ini tidak sedikit social entrepreneur yang bernapas pendek. Usia usaha tidak bertahan lama karena sudah terlebih dahulu krisis arus kas atau gagal menemukan model bisnis yang tepat.
Padahal yang membuat social entrepreneur istimewa adalah kata entrepreneur yang dapat diartikan orientasi terhadap pendapatan untuk menopang kesinambungan dampak sosial.
Belum lagi mahasiswa-mahasiswa yang membuat proyek sosial paruh waktu. Napasnya super pendek karena memang sifatnya sukarela. Awalnya terlihat seru dan membanggakan, tapi langsung ditinggalkan ketika lulus kuliah atau meliat peluang lain. Alhasil masyarakat yang sudah dijanjikan ini itu jadi kecewa, mereka jadi korban mahasiswa PHP (pemberi harapan palsu).
Semoga kita terhindar dari kelimanya.
(Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Medium pribadi penulis. Isi di dalamnya telah disesuaikan dengan standar editorial Tech in Asia Indonesia; Diedit oleh Septa Mellina; Sumber gambar: Study in Sweden)
The post 5 Kesalahan yang Sering Menimpa Seorang Social Entrepreneur appeared first on Tech in Asia Indonesia.