'Remember The Flavor', Cerita Cinta Anti-klimaks
Kursi penonton di Teater 2 Djakarta Theatre XXI penuh terisi hingga baris depan, Rabu (8/2). Lima menit lagi pemutaran film perdana 'Remember The Flavor' dimulai. Para pemain, sutradara, produser, dan kru memberi sambutan singkat di depan layar.
"Semoga habis nonton ini enggak ada yang putus ya," canda Ence Bagus, komedian pemeran Arya Tanu menutup kata.
Penasaran. Inilah yang ada di benak penonton ketika membaca sekilas ringkasan cerita. Sebuah film tentang cinta platonis yang katanya jarang diangkat lebih dalam. Hmm..menarik juga. Apalagi didukung aktor dan artis yang tergolong 'segar' seperti Tarra Budiman (Dimas), Sahira Anjani (Melodi), dan Annisa Pagih (Arnesti).
Kisah bermula di atas kereta jurusan Pasar Senen - Lempuyangan. Dua wanita tak saling kenal, Melodi dan Arnesti duduk berhadapan. Mereka berkenalan dan entah mengapa Melodi seakan dekat hingga mau berbagi cerita cintanya tentang Dimas.
Melodi dan Dimas adalah dua sahabat kecil yang diam-diam saling cinta. Dimas merupakan anak pemilik kedai es krim legendaris Mirasa, sedangkan Melodi gadis yang terobsesi jadi penyanyi seperti ibunya.
Alur cerita dibuat maju mundur dengan setting di atas kereta. Sang sutradara, Dyan Sunu Prastowo cerdas mengambil sudut pandang, sehingga tidak terkesan monoton. Hanya saja, pemilihan Yogyakarta sebagai tempat peristiwa menurut saya terlalu biasa kalau tak mau disebut membosankan.
Di bagian awal, konflik antara Melodi dan ibunya, Citra Dewi (Djenar Maesa Ayu) terasa kuat. Begitupun di tengah dan akhir cerita, penggambaran hubungan ibu-anak ini menjadi bagian favorit yang cukup mampu mengaduk emosi penonton.
Apalagi, ketika Melodi memberanikan diri ikut audisi di kafe tempat ibunya bekerja. Lagu Andra and The Backbone - yang juga mengisi soundtrack film-, mengalun syahdu, cukup bikin merinding dan haru.
Masuk di bagian sentral Melodi dan Dimas, cukup banyak dialog yang sederhana, namun penuh makna. Adegan-adegan romantis gaya remaja juga mampu dikemas secara apik hingga membuat terenyuh.
Saya paling suka saat Dimas datang ke kafe dimana Melodi numpang tinggal, hujan-hujan membawakan bantal, berdansa, pelukan, lalu ciuman. Mungkin buat kebanyakan orang, adegan ini akan dinilai standar saja. Tapi, bagi saya, akting Tarra dan Sahira patut diacungi jempol.
Oh ya, kehadiran Ence dan aktor senior Ferry Salim tak bisa dianggap remeh. Ferry yang berperan sebagai Hendro, ayah Dimas, piawai membuat warna tersendiri. Sementara Ence, kalau dia tak ada, hampir dipastikan film ini bakalan garing. Humor ringannya sukses membuat seisi bioskop tertawa.
Meski ide ceritanya lumayan kuat, tapi terasa kurang greget. Mungkin karena sisi drama romantik-nya kurang dieksplorasi lebih dalam. Cukup membuat kesan, tapi tidak tuntas, jadi seperti setengah-setengah.
Selain itu, ada beberapa adegan yang menurut saya terlalu berlebihan atau kurang relevan sama kehidupan nyata. Contohnya ketika Melodi memutuskan mengejar mimpi ke Jakarta, Dimas mengantar hingga kereta yang ditumpangi Melodi melaju kencang.
Di bagian itu, mereka berdua menangis. Ini wajar sebenarnya, tapi jadi lebay saat tangan Dimas dan Melodi saling tempel di kaca kereta yang perlahan jalan. Maksudnya mungkin mau membuat efek dramatis hingga bikin air mata penonton jatuh, tapi sorry to say, ini gagal.
Dari kursi penonton saya berpikir, perginya kan cuma ke Jakarta dan setting film itu bukan di zaman pra-sejarah dimana ponsel pintar belum ada. Jadi, meski ceritanya pergi selama bertahun-tahun, jarak Yogyakarta dan Jakarta rasanya tak terlalu jauh.
Secara keseluruhan, film ini tak terlalu buruk dan layak ditonton. Terutama bagi mereka yang punya kenangan asmara di Yogyakarta. Bagi yang suka kisah drama romantis, film ini juga cukup menghibur dan bikin penasaran hingga akhir cerita. Hanya saja, jangan berharap klimaks karena emosi penonton dibuat 'nanggung'.